Siswa STM jurusan Kimia Menjadi Medalis Emas di Olimpiade Biologi
-Lomba-
Kompetisi 2024
Hallo pembaca website informasi lomba Namaku Ferisa. Mahasiswi Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro. Aku adalah satu dari sedikit orang yang mengidamkan jurusan Biologi sebagai pilihan pertama.
Karena Allah pernah mengizinkanku naik ke panggung kemenangan Olimpiade lewat Biologi, tepatnya pada September 2013, di Sasana Budaya Ganesha, ITB, Bandung. Itu adalah momen ketika leherku dikalungi oleh kain berbandul lempeng emas.
Faktanya pertama tentangku adalah, aku bukan anak SMA. Aku berasal dari STM Pembangunan Temanggung (Sekarang bernama resmi SMK N 1 Temanggung), jurusan Kimia Analisis. Bagi siswa jurusan ini, kimia adalah nafas utama. Dahulu, jangankan ikut olimpiade Biologi, mengikuti kompetisi-kompetisi kecil tingkat regional pun tak terpikir. Aku kira anak STM hanya berkewajiban meningkatkan skill untuk bekal bekerja selepas lulus. Piagam dan trofi takkan ditanyakan saat wawancara kerja nanti.
Saat masih tahun pertama, aku menjalani praktikum biologi di laboratorium. Di papan pengumuman di depan lab, terpampang kliping koran yang meliput prestasi siswa-siswa STM. Ada empat kliping di sana, semuanya memuat berita tentang prestasi kakak-kakak seniorku. Mereka semua adalah medalis-medalis di Olimpiade Sains Terapan Nasional (OSTN) bidang Biologi Terapan, mulai dari tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012. Masing-masing mendapat medali emas, medali emas lagi, medali perunggu, kemudian medali perak.
OSTN adalah versi OSN-nya siswa SMK, sebuah ajang bergengsi khusus untuk sekolah kejuruan. Mata pelajaran yang dikompetisikan meliputi Fisika Terapan, Kimia Terapan, Biologi Terapan, Matematika Teknologi dan Matematika Non-Teknologi. Untuk ukuran anak STM yang pelajaran biologi-nya tak seintens anak SMA, perolehan medali di tingkat nasional adalah sesuatu yang luar biasa. Kliping-kliping tua di dinding lab memberiku inspirasi untuk bisa berprestasi lagi, tetapi tetap saja belum cukup kuat untuk mendobrak prasangka-prasangka “anak kemarin sore” yang menganggap menjadi medalis olimpiade adalah sesuatu sulit.
Ketika memasuki tahun kedua, kesempatan untuk mengikuti kompetisi datang silih berganti. Salah satunya adalah OSTN bidang Kimia Terapan. Sebagai siswa Kimia Analisis, muncullah pikiran-pikiran egois, “malu dong anak Kimia nggak bisa tembus olimp kimia”. Lalu dengan semangat menggebu, aku mulai membeli buku-buku kimia dan mempelajarinya habis-habisan.
Hampir setiap malam aku membaca buku-buku tebal dan mendaftarkan diri di seleksi tingkat sekolah. Soal seleksi di tingak sekolah terhitung rumit. Aku sadar, Olimpiade memang bukan ajang main-main. Level soalnya lebih dari sekedar menghafal rumus dan teori. Dan seperti yang sudah kuprediksi –Aku gagal dalam seleksi itu. Rasa kecewa. Malam-malam yang kuhabiskan dengan belajar terasa sia-sia. Rasa kecewa itu membuat kepercayaan diriku jatuh. Aku tahu semua orang pernah mengalami momen-momen terpuruk, aku pun begitu. Dan momen terpurukku bisa dibilang adalah momen yang buruk.
Kemudian, di suatu sore, aku menemukan pengumuman di facebook milik guru Biologiku, bahwa ada kesempatan untuk seleksi olimpiade Biologi Terapan. Untuk siswa yang dulu pernah terluka karena gagal di ajang serupa, aku mulai berfikir dua kali untuk mengikuti seleksi itu. Aku bertanya –bagaimana kalau aku gagal lagi? Bagaimana kalau belajarku sia-sia?
Almarhum Ayahku kala itu masih sehat. Beliau menyarankanku untuk mencoba. Tidak apa-apa menjadi oportunis, dan tidak ada salahnya melakukan yang terbaik. Akhirnya aku memberanikan diri mendaftar. Biologi itu rumit. Pelajaran Biologi di STM terbilang minim, berbeda dengan Kimia yang setiap hari kutemui. Aku tahu jalanku takkan mudah, tapi berbekal yakin, aku nekat.
Masalah muncul ketika aku tahu hari seleksi ternyata bersamaan dengan UAS. Mengikuti seleksi berarti membagi konsentrasi antara belajar Biologi dengan belajar Kimia (UAS di STM termasuk mata pelajaran Produktif yang berisi materi Kimia secara detail, seperti Kimia Pangan, Kimia Analisa Klasik dan Volumetri-Gravimetri). Di SMA mungkin Kimia dan Biologi bisa berjalan beriringan, tapi di STM, Kimia Analisis sama sekali tidak berhubungan dengan Biologi. Karenanya, aku berstrategi. Aku mulai mempelajari Biologi dari buku SMP milik adik sepupu.
Kenapa buku SMP? Karena aku perlu me-refresh dasar-dasar Biologi. Tidak perlu terlalu mendetail, yang penting aku ingat mekanisme-mekanisme dasar sistem organ manusia, atau dasar persilangan genetika. Belajar materi yang ringan membuatku lebih santai. Kemudian, aku mulai belajar Biologi dengan level yang lebih tinggi.
Biasanya aku meminjam buku di Perpustakaan Daerah. Karena sudah membaca dasar-dasar Biologi dari buku yang lebih ringan, aku tidak terlalu kesulitan ketika harus membaca buku yang lebih ‘berat’.
Kemudian, aku lolos seleksi tingkat Sekolah dengan nilai tertinggi. 20 soal essay untuk seleksi berhasil aku lewati. Bersama salah satu teman, aku maju ke tingkat Kabupaten. Cara belajarku masih sama seperti sebelumnya. Aku memperbanyak membaca.
Mind set yang kuterapkan adalah, Biologi sama dengan sebuah ‘cerita’. Ingat, bahwa ketika kita membaca novel, kita akan ingat seluruh isi novel tersebut meski kita tidak menghafalkannya. Begitu pula dengan Biologi. Dengan cara pikir demikian, teori evolusi menjadi lebih menarik untuk dipelajari, misalnya saat kita ‘melihat cerita’ tentang bagaimana primata awal mengevolusikan bipedalisme –bukan menghafalnya.
Selain itu, aku juga banyak mendengarkan lagu-lagu positif. Favoritku adalah “Shooting Star”-nya Owl City. Aku selalu ingat apa yang Adam Young nyanyikan dalam lirik lagunya. “When the sun goes down and the lights burn out. Then it's time for you to shine. Brighter than a shooting star. So shine no matter where you are. Fill the darkest night with a brilliant light. 'Cause it's time for you to shine..”
Aku juara I di tingkat Kabupaten, dan otomatis berhak maju ke tingkat provinsi yang diadakan di Universitas Diponegoro, Semarang. Sebelum berangkat ke Undip, Guru Biologiku, Bapak Zubaedi, meminjamkan setumpuk buku Biologi SMA untuk kupelajari. Beliau menyarankan untuk meringkas materi-materi penting di dalam satu buku tulis khusus, agar aku bisa belajar di mana saja.
Beliau juga memberi contoh soal OSTN. Belakangan aku tahu itu adalah soal warisan dari kakak-kakak yang nama dan fotonya sudah terpampang di Koran yang dikliping di lab Biologi. Pak Zubed –panggilan akrab guru Biologiku– jarang memberi bimbingan dengan tatap muka. Aku benar-benar dipaksa belajar sendiri.
Setiap pagi aku datang ke laboratorium Biologi yang sunyi, menyetel lagu-lagu favorit sambil meringkas. Hp aku jauhkan, sejauh mungkin. Tapi memaksakan diri belajar mati-matian juga tidak baik. Jadi, setiap satu jam sekali aku menyelingi belajarku dengan membaca komik-komik lawakan di internet. 10-15 menit tertawa di sela-sela belajar membuat kepalaku jadi lebih fresh.
Meski guruku terkesan tidak mengurusi, tapi yang selalu membuatku terharu adalah, beliau tidak pernah lupa membangunkan aku untuk sholat tahajjud di sepertiga malam terakhir, dan selalu memastikan aku benar-benar bangun untuk tahajjud.
Sampai akhirnya aku bersama dua orang teman dari STM –yang juga menjuarai Olimpiade Kimia Terapan, dan Fisika Terapan– dikirim ke Undip untuk menghadapi pesaing-pesaing dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. 90 soal pilihan ganda, 10 soal isian singkat, 10 soal essay komprehensif dan 4 praktikum Biologi Terapan rasanya cukup banyak untuk menguras energi. Walau rasanya cemas, merasa serba salah dengan jawaban-jawaban saat mengerjakan soal, aku berusaha tenang. Kalau pun aku gagal, aku sudah bertekad untuk tidak akan terpuruk. Malam itu, di gedung Prof.Soedharto, namaku dan sekolahku dipanggil sebagai juara 1. Trofi dua kaki yang kuterima menjadi tanda, aku resmi akan mewakili Jawa Tengah ke Olimpiade tingkat Nasional.
Buku-buku Biologi kemudian SMA segera berganti menjadi buku-buku Biologi perguruan tinggi. Aku tidak memaksakan diri belajar setiap hari, tetapi paling tidak, di waktu luang aku harus tetap membaca catatan. Strategiku adalah, mencegah belajar sampai jenuh. Karena kejenuhan akan memicu bad mood, dan bad mood akan mempengaruhi waktu belajar selanjutnya.
Pertengahan Agustus, aku dan 4 wakil dari Jawa Tengah yang lain (1 orang untuk tiap bidang) dikirim ke Undip untuk bimbingan selama 1 minggu, kemudian dikirim lagi ke UKSW, juga bimbingan selama 1 minggu, bersama dengan siswa-siswa SMA yang mengikuti ajang OSN. Hampir sebulan penuh aku meninggalkan pelajaranku di STM. Guruku menyuruhku sejenak melupakan kimia.
Belajar dengan para dosen di universitas membuatku sadar, betapa luas Biologi itu. Betapa banyak ilmu yang belum aku tahu, dan betapa banyak jagoan Biologi dari SMA-SMA terbaik dari saentero Jawa Tengah. Rasanya minder sekali.
Juga, berat rasanya harus meneruskan prestasi para senior yang luar biasa. membayangkan namaku ada di koran pun nyaris tidak bisa. Bagaimana kalau aku gagal? Apa aku akan mengecewakan guru dan sekolah? Sempat juga aku berdoa, dapat medali perunggu pun tak apa. Yang penting tidak kalah mentah-mentah.
September, seluruh kontingen OSTN dan OSN Jawa Tengah, diterbangkan ke Bandung. Aku kehabisan akal untuk membuat strategi baru. Jadi aku menghabiskan H- beberapa hari sebelum olimp dengan membaca buku Campbell di bab-bab yang aku sukai saja, seperti Ethology dan Keanekaragaan Hayati. Karena menjelang tes, yang kubutuhkan bukan belajar materi tingkat tinggi, tetapi rasa rileks. Membaca bab-bab yang paling aku minati memperbaiki mood dan mencegahku gugup.
Aku melakukan apapun agar rileks. Bercanda dengan teman-teman, curhat dengan guru, bahkan sempat bermain game Dota di laptop. Guruku mengizinkan aku merilekskan diri dengan cara apapun, kecuali dengan bermain HP! Radiasi HP tidak baik, kata beliau.
Aku bahkan tidak diperbolehkan untuk sms-an. Jadi kusimpan HP ku di tas dan aku mulai menghibur diri dengan cara lain. Saat aku mulai tenang, soal-soal olimp yang terasa sulitpun bisa aku lewati. Banyak orang yang memaksa dirinya belajar menjelang olimpiade, padahal yang dibutuhkan untuk olimp bukan hanya persiapan materi, tetapi juga mental. Dan rileks adalah faktor penting. Ketika kita tidak rileks, maka yang ada hanyalah kekakuan dan kegugupan.
Satu-satunya saat aku gugup adalah menjelang pengumuman juara. Aku dan keempat kontingen Jateng lain bergenggaman tangan, menanti nama siapa yang akan disebutkan duluan. Kawanku, Kristian dari bidang Matematika Teknologi dianugerahi medali emas, disusul Setyo dari Fisika Terapan yang juga dapat medali emas. Kevin dari Matematika Non teknologi dikalungi medali perak, dan Galih dari Kimia Terapan mendapatkan medali perunggu. Namaku tak kunjung dipanggil.
Nama Ferisa sendiri disebutkan di akhir. Alhamdulillah, sebagai peraih peringkat pertama bidang Biologi Terapan. Haru dan rasa tidak percaya membludak. Aku berlari menyusul kawan-kawan yang lain naik panggung, lalu dikalungi kain merah berbandul lempeng lapis emas. Di permukaannya terukir lambang Olimpiade Sains.
Sasana Budaya Ganesha menjadi saksi prestasiku di sana. Pada akhirnya, luka-luka kekalahan di ajang sebelumnya sembuh seketika. Sesuatu yang awalnya kuanggap mustahil, kini terjadi. Dinding laboratorium Biologi menampakkan kliping koran yang memuat prestasiku. Berjajar bersama prestasi para senior yang dulu kuanggap tak terjangkau. September 2013 adalah saat dimana ada siswa jurusan Kimia yang sehari-harinya berkutat dengan Volumetri dan Gravimetri– menjadi satu di antara petarung olimpiade Biologi, dan memenangkannya.
Tak terhenti sampai di situ, selulus STM aku tidak bekerja, melainkan kuliah. Jalur seleksi PTN untuk siswa STM tak semulus siswa SMA. Maka, aku dan beberapa kawan pemenang OSTN datang menyampaikan kepada dekan FSM, keinginan kami untuk mendaftarkan diri ke UNDIP.
Keinginan kami disambut baik, lalu kami diterima di jalur Ujian Mandiri. Aku mendapatkan beasiswa Bidikmisi setelahnya, sehingga bisa melanjutkan kuliah tanpa terkendala biaya. Di Undip, aku sempat berpartispasi di ajang olimpiade lagi, juga ajang kompetisi yang lain seperti PKM dan LKTI, dan memenangkan beberapa di antaranya. Alhamdulillah, Allah memberiku jalan yang baik di sini.
Alhamdulillah, karena Allah mengawali semuanya dari sebuah Olimpiade Biologi.
Tidak peduli seberapa sulit atau seberapa jauh kau harus berkorban, asal kau mau bangkit dari kegagalan, mau membuat satu-dua strategi, dan mau berdoa, saat itu lah kau akan menemukan apa yang kau inginkan. Demikianlah tulisan inspirasi juara yang dibagikan oleh Ferisa Lestari Nugrahayu. Semoga bisa menjadi motovasi bagi segenap pembaca website lomba.
0 Response to "Siswa STM jurusan Kimia Menjadi Medalis Emas di Olimpiade Biologi"
Posting Komentar